Menu

Friday, June 11, 2010

Mari Bangun Sekolah di Aceh


52 sekolah atau satu sekolah per minggu merupakan hasil yang luar biasa yang telah dicapai oleh UNICEF sejak dibukanya sekolah permanen pertama yang dibuat oleh UNICEF hampir setahun yang lalu.
Untuk memperingati prestasi penting ini, UNICEF bersama sama dengan BRR, murid-murid, para guru dan kepala sekolah, anggota masyarakat dan perwakilan pemerintah daerah Aceh merayakannya dalam sebuah acara meriah yang berlangsung di gedung sekolah SDN 17 di Banda Aceh yang baru selesai dibangun.

“Saya suka sekali sekolah barunya!” kata Budhi, salah seorang murid SDN 17, dengan semangat, pada saat ia melihat ruang kelasnya yang baru yang terletak di lantai dua. “Kelasnya luas dan sangat bersih, saya rasa saya akan senang belajar di sini!” Seperti semua sekolah lainnya yang dibangun oleh UNICEF, SDN 17 memiliki fitur-fitur yang bersahabat dengan anak-anak, seperti ruang kelas yang besar, toilet terpisah untuk murid laki-laki dan perempuan, serta halaman sekolah yang luas
Sekolah UNICEF juga aman, dibangun dengan standard baru yang tahan gempa. Bagi masyarakat di sekitar SDN 17, gedung sekolah baru berlantai dua itu merupakan satu langkah penting menuju kehidupan yang “normal” dan pembelajaran lingkungan yang lebih baik bagi murid-muridnya, setelah bencana tsunami yang menghanyutkan bangunan sekolah yang lama dan menewaskan sebagian besar murid-muridnya hampir tiga tahun yang lalu.


Tiga kelas semi permanen yang dibangun oleh UNICEF yang sebelumnya digunakan untuk kegiatan belajar mengajar sementara, akan dimanfaatkan sebagai balai pertemuan rakyat, klinik kesehatan dan ruang bermain.
52 sekolah yang telah selesai dibangun merupakan bagian dari usaha UNICEF yang tengah berjalan untuk membuka akses pada pendidikan dasar bagi murid-murid sekolah dasar di Aceh dan Nias. Di samping itu terdapat 107 sekolah lagi yang sedang dibangun dan 55 lainnya dalam proses lelang.
“Bersama-sama kita telah berhasil membuat murid-murid dari 52 sekolah belajar di lingkungan yang layak dan aman. Kita akan meneruskan pekerjaan kita untuk memastikan semua anak di Aceh dan Nias mempunyai sekolah yang baik,” kata Gianfranco Rotigliano, Representatif UNICEF di Indonesia.
Untuk menjangkau anak-anak yang paling rentan, UNICEF telah mengembangkan program pembangunan sekolah di enam kabupaten yang terkena dampak konflik.
“Kami tidak akan menerlantarkan anak-anak hanya karena mereka tinggal di daerah yang sangat terpencil,” kata Gianfranco Rotigliano. “Di enam kabupaten tersebut jumlah murid dan akses ke sekolah sangat rendah. Setiap anak mempunyai hak untuk medapatkan pendidikan dasar, dan kami akan memastikan bahwa hak anak-anak di daerah yang terkena dampak konflik juga terpenuhi.
Hampir setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 18 September 2007, UNICEF membuka dua sekolah permanennya yang pertama, yaitu sekolah Muhammadiyah 1 dan 2. Dua bangunan sekolah yang indah, berlantai dua dan bercat putih dan hijau tua, berdiri dengan kokoh dan megah di salah satu wilayah Banda Aceh yang paling parah terkena tsunami pada tahun 2004.
“Kami sangat senang dengan sekolah baru kami.” Ucap Ibu Ros, seorang guru di Muhammadiyah 2. Semua fasilitasnya dimanfaatkan secara teratur. Misalnya aula serbaguna. Pelajaran baru tentang ketrampilan diadakan di ruang ini, yang dipakai untuk kegiatan seperti menari, memasak dan menyanyi. Masyarakat dan guru-guru juga memanfaatkan aula ini secara berkala untuk kegiatan rapat dan seminar.
Hasna, 7 tahun, murid kelas 2 di Muhammadiyah 1, senang pergi ke sekolah, utamanya menghabiskan waktu di perpustakaan. “Saya membaca banyak buku di sana, saya tidak punya buku di rumah.” tuturnya. Ia juga senang main bulu tangkis di halaman sekolah yang luas atau main petak umper bersama teman-temannya di lantai dasar dan lantai dua.
Bangunan sekolah Muhammadiyah 1 dan 2 yang lama berlokasi di salah satu daerah Banda Aceh yang paling terkena bencana, yaitu daerah Lampaseh Kota, yang jaraknya kurang lebih lima kilometer dari laut. Seluruh daerah tersapu habis oleh tsunami, termasuk dua bangunan sekolah. Ketika bencana terjadi dan menghantam sekolah gelombang air mencapai 2.7 meter. Dua guru dan 120 murid tewas. Saat ini sebuah tugu peringatan kecil berdiri di halaman sekolah untuk mengenang korban bencana tersebut.

No comments:

Post a Comment