Menu

Thursday, June 10, 2010

Penghapusan Retorika

Konferensi Perubahan Iklim PBB telah usai dengan sebuah hasil yang tidak memuaskan bagi sebagian besar negara berkembang. Bagi Indonesia, ada hasil yang dikantongi, yaitu diterimanya metodologi skema REDD.
Itu berarti bahwa dunia luar percaya, Indonesia akan mengurangi emisinya dari perusakan hutan. Skema REDD merupakan skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan.
Sukses di atas adalah salah satu perwujudan tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Indonesia harus menjadi bagian dari solusi menghadapi tantangan perubahan iklim global.

Tekad itu diawali dengan pernyataan Presiden pada akhir September lalu. Saat itu Presiden menyatakan, Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dari kondisi jika tidak melakukan apa-apa (business as usual) pada tahun 2020. Penting dicatat, pernyataan Presiden itu keluar beberapa hari setelah Jepang menyatakan komitmennya mengurangi emisi gas rumah kaca 25 persen di bawah level 1990 pada tahun 2020. Pernyataan Yudhoyono tersebut memicu pertanyaan dari banyak pihak: dari mana 26 persen akan diambil?
Pasalnya, pada bulan Agustus baru dipaparkan hasil perhitungan emisi nasional versi McKinsey yang dirilis oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim. Di sana tidak disebut-sebut soal pengurangan emisi 26 persen, melainkan hanya disebutkan bisa menekan emisi hingga 2,3 miliar ton per tahun pada tahun 2030. Dewan ini diketuai oleh Presiden sendiri.
Ketika itu juga muncul pernyataan bahwa Indonesia tidak berniat memasang target pengurangan emisi seperti negara- negara Annex I yang notabene adalah negara-negara industri. Dalam Protokol Kyoto, merekalah yang diwajibkan mengurangi emisi dalam jumlah besar.
Kontribusi negara-negara berkembang dalam pengurangan emisi dibutuhkan untuk dapat mencapai target ambisius dunia menahan kenaikan suhu global agar tidak melebihi 2 derajat celsius. Jika hanya berdasarkan target negara Annex I saja, tidak akan cukup.
Kerja besar
Mengurangi emisi 26 persen bukan hal kecil. Bahkan, Jepang yang menguasai teknologi maju saja setelah lebih dari 10 tahun dituntut baru menyatakan siap tahun ini. Penurunan emisi mengandung paradigma pembangunan dengan teknologi tinggi sebagai upaya mitigasi. Bagi negara berkembang, lebih banyak didorong ke arah langkah-langkah adaptasi, yaitu mengatasi dampak langsung.
Tak heran, banyak pihak meragukan tercapainya ambisi Indonesia. Persoalannya, untuk bisa menurunkan emisi 26 persen, dibutuhkan ”kesepakatan nasional” yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Anehnya, dalam paparan di Kopenhagen, Denmark, unsur masyarakat sudah disampaikan sebagai pihak yang dilatih agar tidak melakukan pembakaran lahan. Namun, belum muncul unsur swasta sebagai salah satu pemangku kepentingan. Sejumlah fakta menunjukkan, persoalan di sektor kehutanan justru banyak muncul dari praktik korporasi yang seenaknya melanggar ketentuan. Banyak kasus pembalakan liar yang saat ditelusur ternyata bermuara pada korporasi-korporasi raksasa.
Di sektor kehutanan juga terdapat korporasi raksasa di bidang pertambangan yang selain perlu menggunduli hutan guna mengeruk bahan tambang juga merusak lahan, antara lain, untuk pembuangan tailing atau jalur transportasi.
Menabrak realitas
Pada saat bersamaan pula, narasi Presiden dan para pejabat senior tersebut ditabrakkan pada sejumlah realitas di lapangan. Oleh karena itu, konsekuensi dari narasi Presiden adalah kerja keras karena banyak hal harus ditata ulang.
Pada awal Desember lalu, setelah Presiden mengungkapkan penurunan emisi 26 persen dan kemudian disebutkan bahwa sektor kehutanan harus menurunkan emisi, di lapangan justru terungkap: Departemen Kehutanan mengeluarkan 30 izin yang bakal menguras kayu alam di daerah Riau. Pemerintah daerah setempat pun berteriak.
Belum lagi penghargaan lingkungan bagi korporasi besar yang ternyata diwarnai praktik ”tawar menawar” kriteria. Jika korporasi tak siap, kriteria tertentu bisa dikesampingkan.
Melihat kondisi tersebut, tak heran banyak pihak bertanya-tanya tentang ambisi menurunkan emisi tersebut. Padahal, menurut ahli klimatologi dan emisi, Rizaldi Boer, dengan efisiensi energi di berbagai bidang, emisi bisa dikurangi sekitar 10 persen. Namun, katanya pula, Indonesia sebenarnya tak perlu menyebut angka karena tidak wajib.
Perkara lain yang bakal menghadang upaya penurunan emisi di sektor kehutanan adalah ratusan konflik antara masyarakat lokal dan pihak korporasi penguasa hutan terutama di Kalimantan dan Papua. Mekanisme free, prior, and informed consent (FPIC) sebagai suatu bentuk pengakuan kesertaan masyarakat lokal masih sering dilanggar.
Di dalam rombongan Presiden Yudhoyono ke Kopenhagen, terdapat tujuh kepala daerah. Rupanya dunia luar menyadari pentingnya pendekatan kepada kepala daerah. Ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Disadari, pemerintah daerah adalah penjaga gawang pertama dan terakhir dari wilayah hutan atau sumber daya lainnya. Persoalannya, kepentingan pemerintah pusat dan daerah sering kali berbeda sehingga apa yang dicegah oleh pemerintah daerah bisa lolos di pusat.

Di daerah sendiri antara apa yang dicanangkan dan apa yang berlaku di lapangan juga masih banyak kesenjangan.
Persoalan lain adalah tumpang tindih dan amat beragamnya data di berbagai sektor. Ketidakakuratan data akan mengakibatkan kurang akuratnya penyelesaian masalah

No comments:

Post a Comment