Menu

Friday, June 11, 2010

Alfaed Anak dari Aceh


Seorang anak empat tahun tampak ceria saat bermain-main balon di sebuah rumah kayu milik kakeknya. Ia kelihatan lebih senang bermain di rumah daripada bersama teman-teman sebayanya. Ia kelihatan gugup. Ia menghindari tatapan orang lain. Lalu dipukulnya balon itu seolah-olah ingin melampiaskan kekesalannya atas apa yang ia alami. Banyak hal sudah terenggut dari hidupnya. Tapi Alfaed tidak pernah kehilangan senyum nakal dan keceriaannya. Seorang anak empat tahun tampak ceria saat bermain-main balon di sebuah rumah kayu milik kakeknya. Ia kelihatan lebih senang bermain di rumah daripada bersama teman-teman sebayanya. Ia kelihatan gugup. Ia menghindari tatapan orang lain. Lalu dipukulnya balon itu seolah-olah ingin melampiaskan kekesalannya atas apa yang ia alami. Banyak hal sudah terenggut dari hidupnya. Tapi Alfaed tidak pernah kehilangan senyum nakal dan keceriaannya.
Sulit dibayangkan bagaimana nanti Alfaed akan sembuh dari kesedihannya. Ia kehilangan orang tua, bibi dan empat sepupunya saat tsunami. Kesedihan mendalam pun masih tampak di muka Adnan Bintang, kakek sekaligus wali anak itu. Adnan tampak lebih tua dari umurnya yang baru 61 tahun. Wajahnya yang terbakar matahari menyiratkan kesedihan dan kekhawatiran. Pria itu, bersama anak dan cucunya, sedang berjualan ikan di dekat Banda Aceh saat tsunami memporakporandakan desanya di Mon Ikeun pada 26 Desember 2004 silam. Sembilan bulan berlalu dan kepedihan itu masih terlihat.
Pada hari yang mengerikan itu, Adnan pergi ke Banda Aceh jam 7 pagi. Beberapa saat kemudian, terjadilah gempa dahsyat. Ia panik dan ingin pulang ke kampungnya. Tapi air masuk makin jauh ke daratan sehingga semua kendaraan macet total. Ia lalu memanjat pohon setinggi tiga meter sambil menunggu air turun. Saat itu ia berada enam kilometer dari garis pantai.
Airnya masih tinggi sehingga Adnan harus berenang ke arah kampungnya. “Banyak sampah puing dan mayat di mana-mana dan sangat mengerikan,” katanya. “Akhirnya sekitar jam 7.30 pagi saya sampai ke satu pos militer yang jauhnya empat kilometer dari kampung,” imbuhnya. Ia menginap semalam di sana. Tapi air masih belum turun keesokan harinya. Tapi ia bertekat pulang ke kampungnya. Sayang kakinya menginjak paku sehingga ia hampir tidak dapat berjalan lagi.
Sementara pada hari yang sama, anak Adnan yang masih hidup menyelamatkan Alfaed dan kakaknya, Fina, 6 tahun, ke posko bencana di dekat Masjid Kue. Alfaed tidak bisa bergerak dan tidak mau makan dan minum. Rupanya ia terbawa gelombang sejauh 300 meter dan meminum air laut terlalu banyak. Tim Palang Merah yang tiba pada 30 Desember segera menyelamatkan Alfaed ke rumah sakit militer di daerah itu. Tapi semua fasilitas di rumah sakit tercurah untuk penanganan kasus darurat. Akibatnya Alfaed tidak diperiksa sejak pagi. Keluarganya pun membawanya pergi ke posko bencana.



Di posko bencana Jengala Alfaed pelan-pelan mulai memperoleh kembali masa kanak-kanaknya. Ia juga ikut taman bermain UNICEF yang kegiatan-kegiatannya dimaksudkan untuk menyembuhkan trauma yang dihadapi oleh para anak yatim piatu karena tsunami. “Sesudah ikut kegiatan, Alfaed akan bermain bola sendirian sampai jam 2 dini hari karena ia tidak bisa tidur. Kalau tidak boleh ia akan menangis,” kat Adnan.
Baru pada 7 April keluarganya kembali ke kampungnya, Mon Ikeun. Alfaed pun kembali ke sekolah taman kanak-kanak sebagai bagian dari kampanye ‘Ayo Sekolah’ yang dicanangkan UNICEF. Ia juga tetap ikut kegiatan-kegiatan kelompok dan perpustakaan di Children Center milik UNICEF.
“Dia sekarang sudah jauh lebih baik dan lebih kuat. Tapi tetap saja ia lebih pemalu daripada dulu. Ia tidak dekat dengan teman-teman sekolahnya. Ia takut kalau ada orang dekat dengan dirinya,” kata Adnan sembari melirik Alfaed yang sedang bermain dengan kakaknya.
“Banyak relawan yang berkarya di Children Center masih tetap menjalin kontak dengan Alfaed meski sudah di Jakarta. Beberapa mengirimkan mainan dan pakaian. Mereka sayang dengan cucu saya,” imbuh Adnan yang mulai menitikkan air matanya. Terbayang tanggung jawabnya untuk membesarkan cucu itu.
“Dia tergantung sekali dengan saya. Saya menjadi bapak lagi. Kalau bangun tidur Alfaed memanggil saya. Dia tak akan keluar rumah atau kampung tanpa saya. Tapi saya tidak memaksa dia untuk melakukan sesuatu…saya tidak akan memaksa dia untuk pergi ke tempat yang tidak ia sukai. Saya sendiri ditinggal ibu saya waktu saya umur enam tahun. Jadi saya mengerti perasaannya. Karena itu saya tidak pernah bisa menyerahkannya pada orang lain untuk dibesarkan,” katanya sambil terisak. Menurutnya, Fina memang kakak yang baik karena ia selalu mencari Alfaed. Ia hanya khawatir dengan masa depan mereka
Sekarang Adnan benar-benar tersita hidupnya dengan peran barunya. Mungkin karena semua sudah hilang maka ia dan cucunya kini saling membutuhkan satu sama lain.
Saat Pekan Imunisasi Nasional (PIN) berlangsung, Alfaed adalah balita yang perlu diberi imunisasi. Ia pun segera digoncengkan ke sepedanya menuju pos PIN di puskesmas. Mereka menyusuri jalanan berdebu dan lenyap dari pandangan. Saat kakek dan cucu diperbincangkan, saat itu disadari pula bahwa mereka adalah mitra satu sama lain.

1 comment: